Label

Minggu, 06 Mei 2012

SEDEKAH HARGA DIRI SEORANG ANAK HILANG


Mudah mengulurkan tangannya ke teman-teman dan menikahi wanita hamil korban kebiadaan lelaki hidung belang, hidupnya pun dipenuhi kesuksesan.
(Artikel ini pernah dimuat Majalah Hidayah edisi 128, April 2012)
By Mantra

Foto: insani.undip.ac.id
Sebut saja namanya Bapak LD Mato. Sejak kecil ia telah terpisah dengan kedua orang tuanya karena sebuah ketidakberuntungan. Yaitu, saat kelas 5 SD pulang sekolah ia bermain-main di sebuah kapal pesiar. Tiba-tiba saja kapal itu berlayar dan membawanya pergi mengarungi lautan jauh dan meninggalkan kampung halamannya, Timor Timur. Ia pun terkena hukuman dari sang kapten kapal. Di dalam kapal ia dipekerjakan sebagai seorang juru bersih, yang harus membersihkan toilet dan tempat-tempat kotor.
Akhirnya ia berlabuh di Pelabuhan Merak, Banten. Dari sinilah kehidupan baru seorang anak kecil dimulai. Merasa hidup sendiri di kota baru dan asing baginya, apapun ia lakukan. Ia mencari uang sendiri dan harus melanjutkan sekolahnya. Singkat kata, ia pun bisa menyelesaikan SD-nya, SMP-nya, bahkan kuliah-nya di salah satu universitas swasta cukup terkenal di Jakarta Selatan.
Ia pun kemudian menikah dengan salah seorang gadis lulusan SMA di Ciputat. Pernikahan mereka dikaruniai anak bernama Divara yang sebenarnya anak keduanya, karena anak pertamanya keguguran.
Meski begitu, kehidupan LD Mato belum menjanjikan. Ia memang telah berkeluarga dan punya anak, tetapi hidupnya masih menganggur. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, kadang ia silaturrahmi ke sana-kemari agar bisa mendapatkan bantuan dari teman-temannya. Begitulah bertahun-tahun ia lakukan, sehingga ia merasa bahwa teman-temannya merupakan sebuah “jantung” kehidupannya.
Akhirnya ia kembali ke kampung halamannya karena ia merasa tidak kuat bersaing dengan orang-orang perkotaan yang pintar dan penuh tantangan. Di sinilah ia bertemu kembali dengan kedua orang tuanya yang telah puluhan tahun ditinggalkannya. Bagi kedua orang tuanya, LD Mato seperti sudah dianggap meninggal saja. Maka pertemuan mereka pun dipenuhi banyak keharuan.
Namun, kisah ini tentu saja tidak sedang membicarakan bagaimana kisah haru itu terjadi. Kisah ini lebih menyoroti sifat LD Mato yang mudah mengulurkan tangannya ke orang-orang dan teman-temannya karena persoalan senasib yang pernah dialaminya dulu.
Singkat kata, setelah berada di Timor Timur ia pun mulai menapaki karinya sebagai seorang penulis di berbagai media massa. Tulisannya mulai diterima, sebuah hal yang sulit ia lakukan saat berada di kota Jakarta. Maka, ketika rejeki sudah mulai ia reguk dengan hasil goretan tangannya, ia pun tidak sulit untuk berbagi kepada teman-temannya. Oleh teman-temannya ia telah dianggap sukses. Sehingga ketika teman-temannya meminta bantuan kepadanya, ia tak pernah sulit untuk tidak menolongnya. “Saya tahu apa yang mereka rasakan karena saya pernah seperti mereka dulu,” ujarnya kepada Hidayah suatu kali. 
Bahkan, ia pernah berkisah bahwa suatu kali ada seorang wanita datang ke rumahnya dan ia mengeluh tak punya televisi. Maka, televisi satu-satunya di rumah pun ia sumbangkan kepada wanita itu. Wanita itu pun begitu senangnya. Begitulah jiwa sedekah begitu kuat tertanam dalam sosok LD Mato ini. Menurut pengakuan sang istri, “suaminya memang gemar sekali bersedekah. Ia paling tidak bisa kalau melihat tetangga atau teman-temannya mengalami kekurangan, meski ia sendiri kadang tidak punya uang.”
Ketika melihat pengangguran, LD Mato selalu melihat dirinya saat masih mahasiswa dan awal-awal di pernikahannya. Saat itu untuk bisa bertahan hidup, ia harus anjang sana dan anjang sini agar mendapatkan belas kasihan orang. Maka, saat hidupnya mulai sukses ia tidak seperti kacang yang lupa akan kulitnya. Ia begitu mudah mengulurkan tangannya ke orang lain.
Kini, 5 buah karya tulis (buku) telah ia telorkan. Ia diundang ke sana kemari sebagai seorang analis politik yang sukses di negeri yang kini telah memerdekakan diri dari Indonesia itu. Bahkan, wajahnya beberapa kali tampil di televisi lokal sebagai seorang ahli politik. Sambil menyelam minum air, ia pun mulai merambah ke dunia bisnis sebagai seorang suppliyer alat-alat kesehatan di sebuah rumah sakit di sana. Hidupnya pun semakin sukses. Kini, ia telah mampu membeli kendaraan roda empat. Sebuah hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sekali lagi, rahasianya adalah mudah berbagi. Ia tidak pernah hitung-hitungan uang kepada orang lain. “Pernah suatu kali saya kembali ke Jakarta karena istri saya ‘kan masih di sana. Kepulangan saya pasti saja diketahui oleh teman-teman Jakarta saya. Mereka pun tak segan-segan minta bantuan kepada saya; dan saya pun kadang memberinya sebisa mungkin,” ceritanya.
Ia pun kemudian berkisah bahwa apa yang diraihnya sekarang ini bukan saja karena kemudahannya berbagi itu, tetapi juga karena ia telah melakukan apa yang kemudian disebut dengan “sedekah harga diri”. Apa itu dan bagaimana bisa?
Dulu, saat pertama kali baru menginjakkan kakinya kembali di kampung halaman, tidak lama setelah itu ia sudah dihadapkan dengan sebuah “tantangan” yang tidak mudah semua orang lakukan. Yaitu, ada seorang lelaki datang kepadanya dan minta ia mau menikahi seorang perempuan hamil korban pemerkosaan. Entahlah, hal apa yang merasuki pikirannya saat itu, tiba-tiba saja ia berkenan menikahinya meski telah memiliki seorang istri di Jakarta. “Bagi saya, ini adalah sebuah pengorbanan terbesar dalam hidup saya. Coba kamu bayangkan, saya harus menikahi seseorang yang menjadi korban kebiadaban seorang lelaki,” ujarnya kepada Hidayah.
Ya, LD Mato harus mengorbankan harga dirinya. Ia harus menyedekahkan harga dirinya kepada orang lain, yaitu seorang wanita hamil yang sedang dalam nestapa berkepanjangan. Belum lagi, ia harus berhadapan dengan kedua orang tua perempuan yang tidak mau menerimanya karena ia adalah lelaki beristri. Bahkan, katanya, wanita itu tidak sekali itu hamil. Ia pernah hamil sebelumnya dan kemudian digugurkan. Artinya, LD Mato betul-betul telah menyedekahkan harga dirinya untuk seorang wanita yang benar-benar telah hancur secara psikologis. “Saya berusaha membantu psikologisnya yang telah hancur berkeping-keping,” kisahnya kembali.
Bagi LD Mato,mungkin inilah “sedekah terbesar” yang pernah ia lakukan di jalan Allah. Bagi dia, dengan menikahi wanita itu berarti ia telah menolongnya dari jalan yang sesat dan berarti pula ia telah beribadah di jalan Allah. Ia berharap mudah-mudahan Allah meridhai langkahnya.
Kini, istri keduanya itu masih hidup bersama LD Mato, bahkan mereka berdua tampak begitu bahagia. Istrinya yang pertama akhirnya ia beritahu saat pulang ke Jakarta. Meski awalnya sulit menerimanya, akhirnya lambat laut wanita itu pun mulai mengikhlaskan pola suaminya yang telah beristri lagi. Meski LD Mato telah berjasa, tetapi ia merasa bersalah kepada istri pertamanya. Maka, sebagai bentuk sedekah lainnya: ia pun menguliahkan istri pertamanya di Universitas Pamulang. Jadi, lengkap sudah kebahagiaan Lamadi. Kini, ia masih bolak-balik Jakarta-Timor Timur. “Suatu saat saya akan terpikir untuk membawa istri pertama saya ke Timor Timur. Tapi, biarkan ia selesaikan dulu kuliahnya,” ujarnya suatu kali.
Demikiah sebuah kisah penuh inspiratif yang dialami oleh LD Mato. Ia tidak saja mudah berbagi harta kepada orang lain, tetapi juga ia telah melakukan suatu perbuatan terpuji yang sulit dilakukan oleh orang lain, yaitu “sedekah harga diri” dengan menikahi wanita hamil korban kebiadaan lelaki hidung belang. Hidupnya pun dipenuhi kesuksesan. Dari seorang gelandangan di jalanan berubah menjadi seorang penulis handal dan analis politik yang mumpuni, bahkan seorang pengusaha yang mulai diperhitungkan. Semoga kisah ini bisa menjadi bermanfaat buat kita semua! Amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar