Mudah
mengulurkan tangannya ke teman-teman dan menikahi wanita hamil korban kebiadaan
lelaki hidung belang, hidupnya pun dipenuhi kesuksesan.
(Artikel ini pernah dimuat Majalah Hidayah edisi 128, April 2012)
By Mantra
![]() |
Foto: insani.undip.ac.id |
Sebut
saja namanya Bapak LD Mato. Sejak kecil ia telah terpisah dengan kedua orang
tuanya karena sebuah ketidakberuntungan. Yaitu, saat kelas 5 SD pulang sekolah
ia bermain-main di sebuah kapal pesiar. Tiba-tiba saja kapal itu berlayar dan
membawanya pergi mengarungi lautan jauh dan meninggalkan kampung halamannya,
Timor Timur. Ia pun terkena hukuman dari sang kapten kapal. Di dalam kapal ia
dipekerjakan sebagai seorang juru bersih, yang harus membersihkan toilet dan
tempat-tempat kotor.
Akhirnya
ia berlabuh di Pelabuhan Merak, Banten. Dari sinilah kehidupan baru seorang
anak kecil dimulai. Merasa hidup sendiri di kota baru dan asing baginya, apapun
ia lakukan. Ia mencari uang sendiri dan harus melanjutkan sekolahnya. Singkat
kata, ia pun bisa menyelesaikan SD-nya, SMP-nya, bahkan kuliah-nya di salah
satu universitas swasta cukup terkenal di Jakarta Selatan.
Ia
pun kemudian menikah dengan salah seorang gadis lulusan SMA di Ciputat.
Pernikahan mereka dikaruniai anak bernama Divara yang sebenarnya anak keduanya,
karena anak pertamanya keguguran.
Meski
begitu, kehidupan LD Mato belum menjanjikan. Ia memang telah berkeluarga dan
punya anak, tetapi hidupnya masih menganggur. Untuk mencukupi kebutuhan
keluarganya, kadang ia silaturrahmi ke sana-kemari agar bisa mendapatkan
bantuan dari teman-temannya. Begitulah bertahun-tahun ia lakukan, sehingga ia
merasa bahwa teman-temannya merupakan sebuah “jantung” kehidupannya.
Akhirnya
ia kembali ke kampung halamannya karena ia merasa tidak kuat bersaing dengan
orang-orang perkotaan yang pintar dan penuh tantangan. Di sinilah ia bertemu
kembali dengan kedua orang tuanya yang telah puluhan tahun ditinggalkannya.
Bagi kedua orang tuanya, LD Mato seperti sudah dianggap meninggal saja. Maka
pertemuan mereka pun dipenuhi banyak keharuan.
Namun,
kisah ini tentu saja tidak sedang membicarakan bagaimana kisah haru itu
terjadi. Kisah ini lebih menyoroti sifat LD Mato yang mudah mengulurkan
tangannya ke orang-orang dan teman-temannya karena persoalan senasib yang
pernah dialaminya dulu.
Singkat
kata, setelah berada di Timor Timur ia pun mulai menapaki karinya sebagai
seorang penulis di berbagai media massa. Tulisannya mulai diterima, sebuah hal
yang sulit ia lakukan saat berada di kota Jakarta. Maka, ketika rejeki sudah
mulai ia reguk dengan hasil goretan tangannya, ia pun tidak sulit untuk berbagi
kepada teman-temannya. Oleh teman-temannya ia telah dianggap sukses. Sehingga
ketika teman-temannya meminta bantuan kepadanya, ia tak pernah sulit untuk tidak
menolongnya. “Saya tahu apa yang mereka rasakan karena saya pernah seperti
mereka dulu,” ujarnya kepada Hidayah
suatu kali.
Bahkan,
ia pernah berkisah bahwa suatu kali ada seorang wanita datang ke rumahnya dan
ia mengeluh tak punya televisi. Maka, televisi satu-satunya di rumah pun ia
sumbangkan kepada wanita itu. Wanita itu pun begitu senangnya. Begitulah jiwa
sedekah begitu kuat tertanam dalam sosok LD Mato ini. Menurut pengakuan sang
istri, “suaminya memang gemar sekali bersedekah. Ia paling tidak bisa kalau
melihat tetangga atau teman-temannya mengalami kekurangan, meski ia sendiri
kadang tidak punya uang.”
Ketika
melihat pengangguran, LD Mato selalu melihat dirinya saat masih mahasiswa dan
awal-awal di pernikahannya. Saat itu untuk bisa bertahan hidup, ia harus anjang
sana dan anjang sini agar mendapatkan belas kasihan orang. Maka, saat hidupnya
mulai sukses ia tidak seperti kacang yang lupa akan kulitnya. Ia begitu mudah
mengulurkan tangannya ke orang lain.
Kini,
5 buah karya tulis (buku) telah ia telorkan. Ia diundang ke sana kemari sebagai
seorang analis politik yang sukses di negeri yang kini telah memerdekakan diri
dari Indonesia itu. Bahkan, wajahnya beberapa kali tampil di televisi lokal
sebagai seorang ahli politik. Sambil menyelam minum air, ia pun mulai merambah
ke dunia bisnis sebagai seorang suppliyer alat-alat kesehatan di sebuah rumah
sakit di sana. Hidupnya pun semakin sukses. Kini, ia telah mampu membeli
kendaraan roda empat. Sebuah hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sekali
lagi, rahasianya adalah mudah berbagi. Ia tidak pernah hitung-hitungan uang
kepada orang lain. “Pernah suatu kali saya kembali ke Jakarta karena istri saya
‘kan masih di sana. Kepulangan saya pasti saja diketahui oleh teman-teman
Jakarta saya. Mereka pun tak segan-segan minta bantuan kepada saya; dan saya
pun kadang memberinya sebisa mungkin,” ceritanya.
Ia
pun kemudian berkisah bahwa apa yang diraihnya sekarang ini bukan saja karena
kemudahannya berbagi itu, tetapi juga karena ia telah melakukan apa yang
kemudian disebut dengan “sedekah harga diri”. Apa itu dan bagaimana bisa?
Dulu,
saat pertama kali baru menginjakkan kakinya kembali di kampung halaman, tidak
lama setelah itu ia sudah dihadapkan dengan sebuah “tantangan” yang tidak mudah
semua orang lakukan. Yaitu, ada seorang lelaki datang kepadanya dan minta ia
mau menikahi seorang perempuan hamil korban pemerkosaan. Entahlah, hal apa yang
merasuki pikirannya saat itu, tiba-tiba saja ia berkenan menikahinya meski
telah memiliki seorang istri di Jakarta. “Bagi saya, ini adalah sebuah
pengorbanan terbesar dalam hidup saya. Coba kamu bayangkan, saya harus menikahi
seseorang yang menjadi korban kebiadaban seorang lelaki,” ujarnya kepada Hidayah.
Ya,
LD Mato harus mengorbankan harga dirinya. Ia harus menyedekahkan harga dirinya
kepada orang lain, yaitu seorang wanita hamil yang sedang dalam nestapa
berkepanjangan. Belum lagi, ia harus berhadapan dengan kedua orang tua
perempuan yang tidak mau menerimanya karena ia adalah lelaki beristri. Bahkan,
katanya, wanita itu tidak sekali itu hamil. Ia pernah hamil sebelumnya dan
kemudian digugurkan. Artinya, LD Mato betul-betul telah menyedekahkan harga
dirinya untuk seorang wanita yang benar-benar telah hancur secara psikologis.
“Saya berusaha membantu psikologisnya yang telah hancur berkeping-keping,”
kisahnya kembali.
Bagi
LD Mato,mungkin inilah “sedekah terbesar” yang pernah ia lakukan di jalan
Allah. Bagi dia, dengan menikahi wanita itu berarti ia telah menolongnya dari
jalan yang sesat dan berarti pula ia telah beribadah di jalan Allah. Ia
berharap mudah-mudahan Allah meridhai langkahnya.
Kini,
istri keduanya itu masih hidup bersama LD Mato, bahkan mereka berdua tampak
begitu bahagia. Istrinya yang pertama akhirnya ia beritahu saat pulang ke
Jakarta. Meski awalnya sulit menerimanya, akhirnya lambat laut wanita itu pun
mulai mengikhlaskan pola suaminya yang telah beristri lagi. Meski LD Mato telah
berjasa, tetapi ia merasa bersalah kepada istri pertamanya. Maka, sebagai
bentuk sedekah lainnya: ia pun menguliahkan istri pertamanya di Universitas
Pamulang. Jadi, lengkap sudah kebahagiaan Lamadi. Kini, ia masih bolak-balik
Jakarta-Timor Timur. “Suatu saat saya akan terpikir untuk membawa istri pertama
saya ke Timor Timur. Tapi, biarkan ia selesaikan dulu kuliahnya,” ujarnya suatu
kali.
Demikiah
sebuah kisah penuh inspiratif yang dialami oleh LD Mato. Ia tidak saja mudah
berbagi harta kepada orang lain, tetapi juga ia telah melakukan suatu perbuatan
terpuji yang sulit dilakukan oleh orang lain, yaitu “sedekah harga diri” dengan
menikahi wanita hamil korban kebiadaan lelaki hidung belang. Hidupnya pun
dipenuhi kesuksesan. Dari seorang gelandangan di jalanan berubah menjadi
seorang penulis handal dan analis politik yang mumpuni, bahkan seorang
pengusaha yang mulai diperhitungkan. Semoga kisah ini bisa menjadi bermanfaat
buat kita semua! Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar