“Sedekah itu telah memudahkannya untuk terus berkarya.”
(Artikel ini pernah dimuat Majalah Hidayah edisi 129,Jumadil Akhir/Rajab 1433 H/Mei 2012)
By Mantra
B
|
anyak peristiwa yang membuat seseorang itu mendapatkan titik kesadarannya. Dari titik inilah ia kemudian bertekad untuk menjadi manusia baru. Mungkin inilah yang dirasakan oleh Saudara Rudiyanto SW. Ia bisa menghasilan lima buah karya (buku) karena konsep sedekah yang dilakukannya beberapa tahun yang lalu.
![]() |
Rudiyanto dgn senyumnya yg khas |
Saat itu, bulan Ramadhan 2005. Menjelang Maghrib ia diajak oleh Ustadz Wahfiyuddin, dai yang kerap tampil di televisi, untuk acara buka puasa bersama para direktur asuransi Jasa Raharja di Kuningan, Jakarta Selatan. Selain itu, sang ustadz juga didaulat untuk menjadi penceramah kuliah tujuh menit (kultum) di situ. Maka meluncurlah ia dan sang ustadz ke tempat acara. Tidak lama kemudian mereka pun sampai.
Benar saja, Maghrib kemudian bergema dan mereka pun buka puasa bersama. Usai shalat Maghrib yang dilanjutkan shalat Isya dan tarawih berjamaah, sang ustadz pun tampil untuk berceramah. Dalam ceramahnya, tidak disangka ia menyinggung soal keutamaan sedekah. Ia mengisahkan bahwa ada seseorang yang kaya raya, tetapi hartanya tidak pernah ia sedekahkan. Maka, keluarganya menjadi berantakan. Anaknya terlibat narkoba dan sebagainya. Dengan kata lain, harta banyak yang dimilikinya tidak bisa menyelamatkan kebahagiaan keluarganya.
Lalu, ustadz itu menyontohkan dirinya sendiri. Ia tidak memiliki uang pasti. Profesinya sebagai juru dakwah hanya mengandalkan hidupnya pada panggilan orang saja. Meski begitu, hidupnya dipenuhi keberkahan. Anak-anaknya sukses semua dan meraih prestasi sebagai siswa yang terbaik di kelasnya masing-masing. Hidup keluarganya pun sakinah, mawaddah dan rahmah. Semua itu disebabkan karena sedekah yang ia jalankan, yaitu 10% dari setiap penghasilan yang didapatkannya. Ustadz itu juga mengajak para direktur yang hadir di sana yang gajinya rata-rata di atas ratusan juta itu untuk tidak melupakan sedekah.
Banyak yang tergugah atas kisah Pak Ustadz, salah satunya adalah Rudiyanto SW sendiri. Malam itu juga ia pun menekadkan diri, “Ya Allah, kalau malam ini juga saya dapat rejeki, maka akan saya sedekahkan 5%.”
Acara buka puasa, shalat tarawih bersama dan ceramah agama pun selesai. Mereka pun pulang. Tetapi, sampai di tengah jalan Rudiyanto pamit untuk turun karena punya tujuan yang lain. Sementara sang ustadz melanjutkan perjalanannya. Namun, sebelum berpisah, sang ustadz menyelipkan amplop kepada Rudiyanto. Dia tidak bisa mengelaknya karena itu merupakan pemberian. “Hitung-hitung untuk ongkos pulang,” ujarnya saat itu.
Setelah ustadz pergi dengan mobilnya, Rudiyanto pun membuka amplopnya. Ternyata, ada uang 150 ribu di dalamnya. “Saat itu, uang segitu cukup banyak,” katanya. Ia tidak menyangka jika sang ustadz akan memberikan uang sebanyak itu. Dalam pikirannya, mungkin itu adalah uang sedekah 10% dari penghasilan Pak Ustadz sebagai penceramah tadi. Meski begitu, sebelumnya ia tidak menduga sama sekali. Mungkin dalam benaknya, ia akan dikasih 20 ribu, atau paling maksimal 50 ribu.
Sesuai dengan tekadnya malam itu, maka ia pun berjanji akan menyisihkan 5% dari 150 ribu itu. Ia harus menghabiskannya malam itu juga. Berarti, sekitar 7.500 ribu, harus ia sedekahkan. Maka, setiap kali ada pengamen di bis yang ia tumpangi yaitu P-20 jurusan Pasar Senen-Lebak Bulus, ia pun merogoh koceknya seribu atau dua ribu rupiah. Begitu seterusnya, setiap kali ada pengamen ia pun selalu memberinya hingga uang sebesar 7.500 itu habis. “Tetapi, awalnya tetap saja agak berat hati saya. Mungkin inilah godaan!” ujarnya.
Sejak ia membiasakan untuk bersedekah 5% ini, kehidupannya tiba-tiba berubah. Seketika saja ia terbersit ingin berkarya atau menulis. Suatu ketika ia membeli sebuah buku karya Yudi Pramuko berjudul “Sukses Besar Tanpa Gelar” di Toko Buku Gramedia Depok. Ternyata, buku ini menginspirasinya untuk menemui sang penulis di Ciputat. Usai bertemu, ia pun mendapatkan wejangan dari sang penulis, “Tulis saja apa yang kamu tulis dan jalankanlah selagi kamu berada di jalan Allah. Maka Allah pasti akan menunjukkan jalan-Nya.”
Rudi pun pulang ke kontrakannya dan melanjutkan tekadnya untuk menulis. Akhirnya, dalam rentang yang tidak begitu lama, ia pun berhasil menulis sebuah karya yang siap dicetak. Kini, baginya tinggal mencari sponsor yang mau mencetak dan menerbitkan karyanya. “Alhamdulillah, tiba-tiba saja saya dipertemukan dengan sponsornya. Prosesnya begitu mudah sekali,” kisahnya.
Akhirnya, buku pertama berjudul “Uje; Rahasia Sukses Satria Muda” (2006) sukses ia telorkan dan edarkan di pasaran. Sebuah buku tentang bagaimana perjalanan dakwah seorang dai muda bernama Ustadz Jeffry al-Bukhari yang sedang terkenal kala itu dan hingga sekarang sekalipun. Bukunya lumayan mendapatkan respon yang cukup baik dari pembaca.
Hal itu terbukti saat Ahmad Bahar, penulis buku “Kristalisasi Keringat” mengadakan pelatihan menulis buku, menjadikan Rudiyanto sebagai salah seorang pengisi acaranya. Saat acara inilah ia bertemu dengan Nourmala Dewi, perempuan yang kemudian menjadi istrinya.
Namun, Rudi tidak langsung menikahi perempuan itu. Saat buku kedua berjudul “165 Nafas-Nafas Cinta” (2010) ia bedah dalam sebuah Bazar Buku di Jakarta Convention Centre (JCC), ia pun bertemu kembali dengan perempuan itu. Dan rupanya, Nourmala adalah penggemar karya-karya dari Rudi. Buktinya, saat Rudi mengisi acara lagi di sebuah radio yang ada di JCC secara live, perempuan itu ikut hadir juga meski harus bayar 70.000,-.
Sejak itulah, Rudi mulai melakukan komitmen dengan Nourmala pada hubungan yang serius. Maka, saat hendak menikahinya, Rudi pun menjadikan karyanya yang ketiga yang berjudul “Kupinang Engkau dengan Ar-Rahman” (2010) sebagai maharnya. Tidak saja memberikan buku itu, Rudi juga membaca surat Ar-Rahman sebagai mahar keduanya.
![]() |
Gaya Rudiyanto yg berapi-api saat diwawancarai Mantra |
Kini, mereka telah menjadi suami istri dan memiliki anak bernama R. Muhammad Ali ‘Abdul Warits Hamemahu Hayuning Bawono. Meski begitu, produktifitas Rudi untuk menulis buku tidak berhenti. Buku keempatnya yang berjudul “Keajaiban Ibadah Malam” (2011) pun kemudian lahir. Buku ini ditulis bersama sang istri tercinta yang kebetulan juga gemar menulis. Pada tahun 2012 ini, Rudi baru saja menghasilkan buku kelimanya berjudul “Kultum; Mengubah Kehidupan dan Kebahagiaan” (2012).
Demikianlah sebuah kisah bagaimana seseorang yang telah menemukan inti kehidupannya berkah sedekah. Melalui sedekah 5% pula ia terus melahirkan karya-karyanya. Sebab, setiap royalti yang ia dapatkan dari buku-bukunya itu, ia pun langsung menyedekahkan 5% kepada orang yang berhak menerimanya. Begitu juga, setiap kali ia mendapatkan rejeki dalam bentuk apapun, ia selalu menyisihkan 5% untuk kepentingan fi sabilillah. Maka, Rudi pun selalu lancar dalam setiap rencana dan tujuannya, termasuk dalam hal berkarya.
Maka pesan Rudi kepada kita semua adalah bahwa janganlah takut untuk bersedekah. Sebab, sedekah itu tidak akan pernah merugikan kita sama sekali. Tampaknya sedekah itu telah mengurangi harta yang kita miliki. Tetapi, sejatinya, uang yang kita sedekahkan itu untuk ditabung di bank Allah. Karena bank Allah, tentu labanya jauh lebih besar; dan kita pasti akan menerimanya dalam bentuk yang berbeda-beda pula dan tidak terduga sama sekali. Maka bersedekahlah!
Semoga kita bisa belajar dari kisah ini! Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar