Keinginannya
untuk mengganti genteng rumahnya yang jelek terpenuhi dengan sekotak bolu
By Mantra
ebut
saja namanya Lia. Dia perempuan cantik berusia 25 tahun. Anak Bogor ini
merupakan kebanggaan kedua orangnya. Di samping berprestasi di kelas sejak
kecil, ia juga aktif di masyarakat. Namun, persoalan kemudian muncul setelah
sang bapak menikah kembali karena istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan
yang cukup tragis.
Lia
tidak terima jika Bapaknya menikah lagi dalam waktu cepat. Bapak telah
mengkhianati almarhumah ibunya yang sudah tenang di alam baka. Yang tidak bisa
ia terima lagi, adalah kenyataan bahwa perempuan yang dinikahi bapaknya berusia
satu tahun lebih tua di atas dirinya. Artinya, sang ibu tiri tidak lebih
seperti kakaknya sendiri.
Hubungan
ayah dan anak pun menjadi retak, hingga mereka hidup terpisah. Lia hidup sama
suaminya di sebuah rumah baru yang dibelinya, sedangkan sang ayah hidup dengan
istri barunya.
Hubungan
mereka menjadi semakin retak ketika sang bapak secara diam-diam menjual tanah
peninggalan almarhumah ibunya, yang sebenarnya diperuntukkan buat anak-anaknya.
Tanah itu dijual untuk kebutuhan dirinya dan istri mudanya. Namun, Allah
menggagalkan niat sang bapak yang kurang baik itu, karena sang pembeli akhirnya
menyadari bahwa tanah yang hendak dibelinya itu dipersengketakan oleh sang
anak.
Hubungan
anak dan ayah pun benar-benar sudah tidak akur lagi. Bertahun-tahun mereka
terus dalam kondisi seperti ini. Sebagai menantu, Asep (suami Lia) menyadari
bahwa mertuanya adalah sosok yang ambisius dan kemaruk terhadap harta. Meski begitu, sebagai menantu ia berusaha
menyadarkan istrinya untuk tetap berbakti kepada bapaknya.
Namun,
tetap saja Lia tidak pernah mau menyadarinya. Rupanya, rasa sakit hatinya
terhadap sang Bapak begitu kuat di dalam benaknya. Apalagi, disadari atau
tidak, sejak kecil Lia sendiri sebenarnya lebih banyak diasuh dan tinggal sama
neneknya. Artinya, bagi Lia, orang tua yang sebenarnya adalah kakek dan
neneknya. Mereka lebih sayang kepada dirinya dibandingkan kedua orang tuanya
sendiri, yang mendidiknya dengan begitu keras.
Tiga
tahun sudah ayah dan anak itu tidak bertemu. Namun, Lia belum mau bertemu juga
dengan bapaknya. “Gak tahu, saya kok
tidak kangen atau rindu sama sekali sama bapak,” ujarnya kepada Hidayah. Ya, meski sudah lama tidak
bertemu, Lia sama sekali tidak merindukan bapak di sisinya. Bapaknya seperti orang
lain bagi dirinya.
Genteng Bocor
Berbanding balik dengan bapaknya,
hubungan Lia dengan sang suami begitu harmonis. Mereka begitu bahagia, meski
tinggal di sebuah rumah yang sederhana. Rumah yang dibelinya dengan dicicil
(kredit) dan sewaktu-waktu gentengnya bocor kalau terjadi hujan deras.
Asep sudah mencoba memperbaiki genteng
itu, tetapi tetap saja bocor kalau terjadi hujan deras. Bahkan, saking jelek
kualitasnya, genteng tersebut mudah pecah saat diinjak. Jadi, ketika naik ke
atap untuk memperbaiki yang bocor, selalu saja ada genteng baru yang pecah
karena diinjaknya. Akhirnya, keadaan itu pun terus dibiarkan sampai waktu yang
tidak jelas. “Dari pada bocor lagi bocor
lagi, ya akhirnya genteng bocor itu dibiarin saja,” ujar Lia sambil
tertawa.
Ketika hujan tiba, Lia sendiri sudah
siap-siap memasang bak (paso) besar
di dalam kamarnya untuk menampung air mengucur dari atap. Dan ketika hujan
reda, tidak jarang bak besar itu penuh dengan air. Keadaan demikian terus
berlangsung sejak ia membeli rumah. Berarti sudah 2 tahun berjalan.
Lia agak pusing dengan keadaan ini
karena kalau hujan deras, ia pasti mengepel kamarnya yang basah dan becek
karena percikan air yang jatuh ke bak. Namun, apa daya, kenyataan tersebut
harus dihadapinya karena sang suami sendiri tidak memiliki uang cukup untuk
mengganti genteng rumahnya. Posisinya sebagai karyawan biasa di sebuah pabrik,
hanya cukup memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja.
Hingga suatu kali pikiran Lia berubah.
Tiba-tiba saja ia tergugah oleh ajakan suaminya untuk sowan (silaturrahmi) ke bapaknya yang sudah lama tidak ia temui.
Tiba-tiba saja ada rasa kangen dan rindu begitu kuat tertancap dalam dada Lia
untuk melihat wajah bapaknya. Apakah ia sudah berubah ataukah masih seperti
dulu? “Suami mengajak saya lagi untuk
bertemu dengan bapak. Tidak baik kalau terus-terusan begini,” ujar
perempuan dengan senyum yang manis itu.
Entahlah, hal apa yang membuat Lia
akhirnya mau menerima ajakan suaminya. “Saya
sendiri heran, kenapa saya jadi merasa bersalah kepada bapak?” ujarnya
dengan pandangan tertunduk ke bawah. Akhirnya, hari Sabtu pun disepakati untuk
pergi menemui bapaknya.
“Saat
itu saya bilang kepada suami, bagaimana kalau bawa oleh-oleh untuk bapak. Saya
merasa tidak enak kalau ke rumah bapak dengan tangan kosong,” ujarnya dengan
mata berkaca-kaca. Sang suami sangat menyetujuinya.
Di tengah kondisi keuangan yang
menipis karena di kantong sang suami hanya tinggal 50 ribu, akhirnya Lia pun
membeli kue bolu seharga 24 ribu. Dengan sisa 5 hari lagi gajian, Lia dan Asep
pun tidak mau memperdulikannya. “Saat itu
padahal saya dan suami lagi gak punya uang sama sekali. Tetapi, untungnya suami
ikhlas mau membelikan bapak bolu,” ujarnya.
Setelah membeli bolu, di sore hari
mereka pergi menemui bapaknya di desa lain. Dua jam kemudian mereka sampai.
Sebagai bapak, Kardi, terkejut melihat kedatangan anak dan menantunya. Hal itu
wajar sekali karena hampir tiga tahun mereka tidak bertemu. “Ada rasa canggung dalam diri saya saat
itu,” ujar Lia dengan mata berkaca-kaca.
Namun, pertemuan itu pun akhirnya tak
terelakkan lagi. Lia mencium tangan bapaknya dengan penuh haru. Mereka saling
berpelukan. Ada rasa bahagia yang begitu kuat memancar dari keduanya. Lia
sendiri tampaknya ingin menangis karena saking bahagianya. Begitu juga dengan
sang bapak, ia masih tidak mempercayainya jika anak hilang itu mau kembali dan
menemui dirinya. “Saat itu bapak juga
bilang kalau sebenarnya ia juga kangen dan rindu pada saya. Ia juga mengaku
merasa bersalah kepada saya karena begitu cepat mengambil keputusan menikah
kembali,” ujarnya dengan suara parau.
Tapi, yang lalu biarlah berlalu. Kini,
kehidupan baru mereka tatap kembali. Hubungan anak dan bapak yang sudah lama
retak kini terjalin kembali. Dan Lia pun menyerahkan bolu berwarna coklat itu.
Sang bapak terlihat senang karena anaknya datang sambil membawa oleh-oleh. “Silakan Pak, dicicipin bolunya,” ujar Asep
kepada mertuanya.
Bungkusan bolu pun dibukanya. Setelah
dilihat dan dirasakan, sang bapak pun berkomentar, “Wah, ini sih cita rasa orang kota. Kalau dibawa ke kantor tidak malu,”
ujar Lia menirukan ucapan bapaknya saat itu.
Sambil menikmati bolu dan kopi,
tiba-tiba Bapak Kardi pun berucap, “Bapak
dengar-dengar kalian sudah beli rumah. Butuh genteng gak, kebetulan di belakang
rumah bapak ada genteng nganggur.”
Dengan agak
terkejut, Lia pun menjawab, “Kok Bapak tahu
kalau saya sudah beli rumah.”
“Ya,
Bapak denger-denger aja dari saudara,” jawab Bapak Kardi enteng.
Akhirnya perhatian pun kembali lagi
kepada soal genteng. Lia begitu kaget ketika mendapatkan tawaran dari bapaknya
itu. Selama ini ia dan suaminya memang sedang butuh genteng baru untuk
mengganti genteng yang sudah ada karena mudah retak dan bocor. “Gentengnya bagus, enteng tapi kuat,”
ujar Bapak Kardi.
Akhirnya Lia, Asep dan Bapak Kardi pun
ke belakang untuk mengecek genteng tersebut. Setelah di-check akhirnya Asep dan
Lia percaya bahwa genteng yang hendak dikasih bapaknya itu memiliki kualitas
yang jauh lebih mumpuni dibandingkan dengan genteng rumah miliknya. Akhirnya,
mereka pun menerima tawaran dari Bapak Kardi.
Saat tulisan ini dibuat, genteng tersebut
sedang dicat lagi oleh Bapak Kardi agar lebih terlihat baru dan bagus. Dan
genteng rumah milik Lia sendiri rencananya akan diganti kalau sang bapak sudah
selesai mengecat sekitar 1500 genteng yang dibutuhkannya.
Demikian kisah haru menimpa Lia dan
suaminya. Berbekal sedekah bolu dan sedekah jiwa dengan mau menyadari
kesalahannya serta mau memaafkan segala kesalahan bapaknya, Lia akhirnya
mendapatkan genteng baru yang berkualitas yang memang selama ini dibutuhkannya.
Yang jauh lebih penting lagi, anak dan bapak akhirnya akur lagi.