Label

Senin, 07 Mei 2012

DIKASIH UANG SEGEPOK OLEH ORANG TAK DIKENAL

By Mantra
  
“Sedekah terbaik adalah ketika berbagi orang lain tidak mengetahuinya” 
Bapak Ali H.

Demikian yang pernah dilakukan oleh Pak Ali H (71). Saat menyadari sound system Masjid al-Hikmah Kedaton, Lampung hilang, maka dia pun pergi ke toko elektronik secara diam-diam untuk membeli alat tersebut. Lalu, tanpa sepengetahuan orang, alat tersebut dipasang sendiri oleh beliau di masjid itu. Maka, jadilah, Masjid al-Hikmah memiliki sound system lagi dan warga pun bisa mendengar adzan atau iqamat lagi saat dikumandangkan oleh seorang muadzin.
Bagi Pak Ali, apa yang dilakukannya itu semata-mata karena Allah SWT. Sebab, kasihan juga jika di masjid tidak ada sound system. Maka, syiar Islam pun tidak akan berjalan. Warga atau masyarakat tidak bisa mendengar kapan waktu shalat telah tiba. Maka, dengan niat yang ikhlas, ketika sound system Masjid al-Hikmah hilang dicuri maling, segera ia mencari toko elektronik dan membelinya dengan uangnya sendiri.

DAPAT RUMAH, MOBIL, DAN UMRAH GRATIS BERKAH SEDEKAH





“Keajaiban berbagi itu memang tak terbatas. Terkadang, tidak ternalar oleh logika. Tetapi, sesungguhnya, itu adalah realita yang kerapkali terjadi di sekitar kita.”  
By Mantra

      Begitu juga yang terjadi dengan saudara Rochimi. Setelah bergabung dengan Darul Qur'an dan kemudian ikut membidani berdirinya PPPA (Program Pembibitan Penghafal Al-Qur'an) bersama Ustadz Yusuf Manshur, ia semakin menyadari pentingnya berbagi (sedekah). Maka, sejak 2007, setiap bulan ia pun mulai membiasakan dirinya bersedekah dengan membagikan minimal 40 bungkus kepada para tetangga. “Makanan itu dimasak sendiri oleh istri saya,” ujar lelaki kelahiran Indramayu, 4 April 1976 ini.

MENOLAK SEDEKAH MENDADAK SAKIT DI MEKKAH


Lelaki Pakistan datang minta bantuan padanya. Tetapi, ia bilang “I don't have money (Saya tidak punya uang).” Seketika ia pun mendadak sakit keras. Dan baru sembuh ketika bertemu kembali dengan orang itu. 


      Berbagai keajaiban kerapkali dirasakan oleh para jamaah haji dari seluruh penjuru dunia, tidak hanya dari Indonesia. Ada yang saat berangkat sehat bugar tiba-tiba sakit-sakitan ketika di sana. Sebaliknya, ada pula yang awalnya sakit, tetapi seketika menjadi sehat saat berada di sana. Semua itu tergantung pada bagaimana cara pikir dan sikap mereka selama berada di tanah suci.
      Kisah berikut ini memberikan gambaran kepada kita bagaimana seseorang yang menolak untuk bersedekah, yaitu memberikan bantuan kepada orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan, tiba-tiba mendadak sakit keras. Tubuhnya menggigil akut (demam tinggi) hingga ia tak bisa berjalan. Dan sembuh kembali saat ia bertemu orang itu lagi dan kemudian merubah sikapnya. Kisah ini diceritakan oleh anaknya yang bernama Mutiara Sakinah Lukman (17 tahun), mahasiswi kebidanan di Tangerang, Banten.
      Sebut saja namanya Pak Lukman. Ketika ia naik haji, sebenarnya usia sang anak yaitu Mutiara sedang berusia 4 tahun. Karena itu, ia belum mengetahui dan paham betul perihal kondisi sang ayah saat berhaji. Ia baru menyadarinya setelah ayah menceritakannya kembali ketika ia berinjak dewasa. Berarti, sejak ayah naik haji hingga sang anak mengetahuinya, masa itu telah lewat sekitar 13 tahun. Sebuah masa yang cukup panjang tentunya!
      Singkat cerita, Pak Lukman tentu sangat bahagia ketika berada di Makkah untuk menunaikan ibadah haji, seperti halnya jamaah haji yang lainnya. Berbagai ritual ibadah haji, baik yang rukun, wajib dan sunnahnya pun berusaha ia lakukan dengan sempurna agar terhindar dari sanksi (dam) dan demi mendapatkan gelar haji yang mabrur.
      Namun, meski berbagai upaya telah dilakukan, ada saja hal-hal kecil kadang kita anggap sepele. Hal ini pun terjadi pada Bapak Lukman. Saat shalat di Masjidil Haram untuk melaksanakan ibadah shalat sunnah, tiba-tiba ia didatangi oleh lelaki Pakistan untuk minta bantuan. Lelaki itu beralasan bahwa tiket bisnya hilang sehingga ia tidak bisa pulang, sementara uang di kantongnya tentu saja habis. Karena itu, ia meminta kepada Pak Lukman agar ia berkenan memberikannya bantuan seberapa pun besarnya (seikhlasnya).
      Pak Lukman segera merogoh tas kecilnya yang terlilit (menggantung) di leher. Ternyata, ada 252 real. Sebelumnya ia berjanji bahwa sepulang shalat dari Masjidil Haram ia akan jalan-jalan untuk membeli oleh-oleh buat anak-anak dan keluarga di kampung. Karena itu, ia pun tidak jadi memberikan bantuan kepada lelaki Pakistan tersebut. Apalagi, sebelumnya, Pak Lukman kerapkali mendengar cerita tentang kebiasaan lelaki Pakistan yang suka minta bantuan alias mengemis. Maka, Pak Lukman pun bilang kepada orang itu, “I don't have money!” (Saya tidak punya uang).
      Mendengar jawaban Pak Lukman demikian, lelaki Pakistan itu pun pergi dan meninggalkannya dalam keramaian Masjidil Haram. Apakah yang terjadi setelah itu? Uang Pak Lukman memang masih utuh, tidak hilang sepeser pun. Tetapi, badannya tiba-tiba menggigil seolah-olah merasakan rasa dingin yang luar biasa (demam akut). Akhirnya, ia pun menyandarkan tubuhnya ke tembok Masjidil Haram sambil mendekap badannya.
      Untungnya, dalam kondisi seperti itu, sang teman datang dan mengetahuinya hingga bisa membawanya ke maktab (pemondokan). Sesampainya di tempat, Pak Lukman terus menggigil tubuhnya. Dalam sakitnya, ia sempat tidak habis pikir kenapa sakit keras tiba-tiba mendera tubuhnya. Ia pun terus minum obat-obatan yang memang telah dipersiapkan sejak dari rumah.
      Akhirnya, ia pun menemukan “titik permasalahan”-nya. Yaitu, mungkin disebabkan oleh ulahnya saat berada di Masjidil Haram. Akhirnya, ia pun berdoa dan memohon ampun kepada Allah agar Dia berkenan memaafkan segala kesalahannya. Dalam doanya ia pun berjanji bahwa apabila suatu saat dipertemukan kembali dengan lelaki Pakistan itu, maka ia akan merubah sikapnya. Ia akan memberikan apa yang dibutuhkan lelaki itu.
      Akhirnya, dalam sakitnya Pak Lukman memaksakan diri untuk pergi ke Masjidil Haram untuk menunaikan ibadah shalat. Atas izin Allah, ia dipertemukan kembali dengan lelaki itu. Bila sebelumnya, lelaki itu berbicara dengan bahasa Inggris, kali ini ia membawa selebaran kertas bertuliskan bahasa Indonesia dengan kalimat yang sama, yaitu minta bantuan karena tiket bis yang mengantarkannya pulang hilang dan ia butuh uang untuk bisa membelinya kembali. Karena Pak Lukman telah mempersiapkan sejak dari maktab, maka ia pun memberikan lelaki Pakistan itu uang sebesar 10 real.
      Tiba-tiba saja keajaiban Allah datang setelah itu. Tidak lama setelah Pak Lukman bersedekah kepada lelaki Pakistan itu, sakit kerasnya tiba-tiba berangsur hilang dan akhirnya ia benar-benar sembuh. Ini benar-benar sebuah hal yang tidak bisa dicerna oleh logika dan akal manusia. Padahal, sebelumnya, ia sudah minum obat-obatan, namun penyakit itu tak kunjung hilang juga. Pertanda apakah ini? Ini sebuah tanda bahwa obat itu akan bereaksi tergantung sebabnya. Dalam kasus Pak Lukman, penyebab dirinya sakit adalah ia tidak bersedekah kepada lelaki Pakistan. Maka, obat penyembuhnya pun harus dengan cara bersedekah pula. Dan akhirnya terbukti, setelah ia bersedekah, maka sakitnya tiba-tiba menjadi hilang.
      Demikian pengalaman haji yang dialami oleh Pak Lukman. Ia telah merasakan betapa sucinya tanah Makkah dan Madinah itu. Apa yang dipikirkan dan dilakukannya langsung dibalas oleh Allah. Karena itu, hendaklah kita selalu berhati-hati dalam beribadah haji. Hilangkan segala pikiran yang tidak baik selama berada di tanah suci.
      Satu hal pelajaran penting dari kisah Pak Lukman adalah bahwa hendaklah kita tidak punya kepentingan apapun saat bersedekah. Meski awalnya kita tahu bahwa orang itu hanyalah seorang pengemis atau peminta-minta, maka sebaiknya kita berikan bantuan saja kepadanya berapa pun nilainya. Karena Pak Lukman menganggap lelaki Pakistan itu mungkin seperti pengemis kebanyakan lainnya, yang hanya berpura-pura hilang tiket bisnya, akhirnya ia pun tak jadi bersedekah. Padahal, persoalan ia berpura-pura jadi pengemis atau tidak, kita serahkan saja kepada Allah. Dia yang akan membalasnya. Tugas kita hanyalah berbagi kepada sesama. Toh, kebaikannya akan kita rasakan pula.
      Sebaliknya, musibah pula yang akan dirasakan oleh lelaki Pakistan itu, jika memang ia berbohong dengan mengaku-aku sebagai jamaah haji yang sedang kehilangan tiket bisnya. Dan kalau pun benar ia sedang membutuhkan pertolongan, maka Allah pula yang akan memberikan jalan keluarnya. Salah satunya, ia dipertemukan dengan lelaki bernama Pak Lukman, yang kemudian memberikannya uang 10 real kepadanya.
      Semoga kisah ini bisa memberikan pelajaran berharga buat kita semua. Amien!

SEDEKAH BOLU DAPAT RIBUAN GENTENG


Keinginannya untuk mengganti genteng rumahnya yang jelek terpenuhi dengan sekotak bolu

By Mantra

S
ebut saja namanya Lia. Dia perempuan cantik berusia 25 tahun. Anak Bogor ini merupakan kebanggaan kedua orangnya. Di samping berprestasi di kelas sejak kecil, ia juga aktif di masyarakat. Namun, persoalan kemudian muncul setelah sang bapak menikah kembali karena istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan yang cukup tragis.
Lia tidak terima jika Bapaknya menikah lagi dalam waktu cepat. Bapak telah mengkhianati almarhumah ibunya yang sudah tenang di alam baka. Yang tidak bisa ia terima lagi, adalah kenyataan bahwa perempuan yang dinikahi bapaknya berusia satu tahun lebih tua di atas dirinya. Artinya, sang ibu tiri tidak lebih seperti kakaknya sendiri.
Hubungan ayah dan anak pun menjadi retak, hingga mereka hidup terpisah. Lia hidup sama suaminya di sebuah rumah baru yang dibelinya, sedangkan sang ayah hidup dengan istri barunya.
Hubungan mereka menjadi semakin retak ketika sang bapak secara diam-diam menjual tanah peninggalan almarhumah ibunya, yang sebenarnya diperuntukkan buat anak-anaknya. Tanah itu dijual untuk kebutuhan dirinya dan istri mudanya. Namun, Allah menggagalkan niat sang bapak yang kurang baik itu, karena sang pembeli akhirnya menyadari bahwa tanah yang hendak dibelinya itu dipersengketakan oleh sang anak.
Hubungan anak dan ayah pun benar-benar sudah tidak akur lagi. Bertahun-tahun mereka terus dalam kondisi seperti ini. Sebagai menantu, Asep (suami Lia) menyadari bahwa mertuanya adalah sosok yang ambisius dan kemaruk terhadap harta. Meski begitu, sebagai menantu ia berusaha menyadarkan istrinya untuk tetap berbakti kepada bapaknya.
Namun, tetap saja Lia tidak pernah mau menyadarinya. Rupanya, rasa sakit hatinya terhadap sang Bapak begitu kuat di dalam benaknya. Apalagi, disadari atau tidak, sejak kecil Lia sendiri sebenarnya lebih banyak diasuh dan tinggal sama neneknya. Artinya, bagi Lia, orang tua yang sebenarnya adalah kakek dan neneknya. Mereka lebih sayang kepada dirinya dibandingkan kedua orang tuanya sendiri, yang mendidiknya dengan begitu keras.
Tiga tahun sudah ayah dan anak itu tidak bertemu. Namun, Lia belum mau bertemu juga dengan bapaknya. “Gak tahu, saya kok tidak kangen atau rindu sama sekali sama bapak,” ujarnya kepada Hidayah. Ya, meski sudah lama tidak bertemu, Lia sama sekali tidak merindukan bapak di sisinya. Bapaknya seperti orang lain bagi dirinya.

Genteng Bocor
          Berbanding balik dengan bapaknya, hubungan Lia dengan sang suami begitu harmonis. Mereka begitu bahagia, meski tinggal di sebuah rumah yang sederhana. Rumah yang dibelinya dengan dicicil (kredit) dan sewaktu-waktu gentengnya bocor kalau terjadi hujan deras.
          Asep sudah mencoba memperbaiki genteng itu, tetapi tetap saja bocor kalau terjadi hujan deras. Bahkan, saking jelek kualitasnya, genteng tersebut mudah pecah saat diinjak. Jadi, ketika naik ke atap untuk memperbaiki yang bocor, selalu saja ada genteng baru yang pecah karena diinjaknya. Akhirnya, keadaan itu pun terus dibiarkan sampai waktu yang tidak jelas. “Dari pada bocor lagi bocor lagi, ya akhirnya genteng bocor itu dibiarin saja,” ujar Lia sambil tertawa.
          Ketika hujan tiba, Lia sendiri sudah siap-siap memasang bak (paso) besar di dalam kamarnya untuk menampung air mengucur dari atap. Dan ketika hujan reda, tidak jarang bak besar itu penuh dengan air. Keadaan demikian terus berlangsung sejak ia membeli rumah. Berarti sudah 2 tahun berjalan.
          Lia agak pusing dengan keadaan ini karena kalau hujan deras, ia pasti mengepel kamarnya yang basah dan becek karena percikan air yang jatuh ke bak. Namun, apa daya, kenyataan tersebut harus dihadapinya karena sang suami sendiri tidak memiliki uang cukup untuk mengganti genteng rumahnya. Posisinya sebagai karyawan biasa di sebuah pabrik, hanya cukup memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja.
          Hingga suatu kali pikiran Lia berubah. Tiba-tiba saja ia tergugah oleh ajakan suaminya untuk sowan (silaturrahmi) ke bapaknya yang sudah lama tidak ia temui. Tiba-tiba saja ada rasa kangen dan rindu begitu kuat tertancap dalam dada Lia untuk melihat wajah bapaknya. Apakah ia sudah berubah ataukah masih seperti dulu? “Suami mengajak saya lagi untuk bertemu dengan bapak. Tidak baik kalau terus-terusan begini,” ujar perempuan dengan senyum yang manis itu.
          Entahlah, hal apa yang membuat Lia akhirnya mau menerima ajakan suaminya. “Saya sendiri heran, kenapa saya jadi merasa bersalah kepada bapak?” ujarnya dengan pandangan tertunduk ke bawah. Akhirnya, hari Sabtu pun disepakati untuk pergi menemui bapaknya.
          “Saat itu saya bilang kepada suami, bagaimana kalau bawa oleh-oleh untuk bapak. Saya merasa tidak enak kalau ke rumah bapak dengan tangan kosong,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. Sang suami sangat menyetujuinya.
          Di tengah kondisi keuangan yang menipis karena di kantong sang suami hanya tinggal 50 ribu, akhirnya Lia pun membeli kue bolu seharga 24 ribu. Dengan sisa 5 hari lagi gajian, Lia dan Asep pun tidak mau memperdulikannya. “Saat itu padahal saya dan suami lagi gak punya uang sama sekali. Tetapi, untungnya suami ikhlas mau membelikan bapak bolu,” ujarnya.
          Setelah membeli bolu, di sore hari mereka pergi menemui bapaknya di desa lain. Dua jam kemudian mereka sampai. Sebagai bapak, Kardi, terkejut melihat kedatangan anak dan menantunya. Hal itu wajar sekali karena hampir tiga tahun mereka tidak bertemu. “Ada rasa canggung dalam diri saya saat itu,” ujar Lia dengan mata berkaca-kaca.
          Namun, pertemuan itu pun akhirnya tak terelakkan lagi. Lia mencium tangan bapaknya dengan penuh haru. Mereka saling berpelukan. Ada rasa bahagia yang begitu kuat memancar dari keduanya. Lia sendiri tampaknya ingin menangis karena saking bahagianya. Begitu juga dengan sang bapak, ia masih tidak mempercayainya jika anak hilang itu mau kembali dan menemui dirinya. “Saat itu bapak juga bilang kalau sebenarnya ia juga kangen dan rindu pada saya. Ia juga mengaku merasa bersalah kepada saya karena begitu cepat mengambil keputusan menikah kembali,” ujarnya dengan suara parau.
          Tapi, yang lalu biarlah berlalu. Kini, kehidupan baru mereka tatap kembali. Hubungan anak dan bapak yang sudah lama retak kini terjalin kembali. Dan Lia pun menyerahkan bolu berwarna coklat itu. Sang bapak terlihat senang karena anaknya datang sambil membawa oleh-oleh. “Silakan Pak, dicicipin bolunya,” ujar Asep kepada mertuanya.
          Bungkusan bolu pun dibukanya. Setelah dilihat dan dirasakan, sang bapak pun berkomentar, “Wah, ini sih cita rasa orang kota. Kalau dibawa ke kantor tidak malu,” ujar Lia menirukan ucapan bapaknya saat itu.
          Sambil menikmati bolu dan kopi, tiba-tiba Bapak Kardi pun berucap, “Bapak dengar-dengar kalian sudah beli rumah. Butuh genteng gak, kebetulan di belakang rumah bapak ada genteng nganggur.”
          Dengan agak terkejut, Lia pun menjawab, “Kok Bapak tahu kalau saya sudah beli rumah.”
          “Ya, Bapak denger-denger aja dari saudara,” jawab Bapak Kardi enteng.
          Akhirnya perhatian pun kembali lagi kepada soal genteng. Lia begitu kaget ketika mendapatkan tawaran dari bapaknya itu. Selama ini ia dan suaminya memang sedang butuh genteng baru untuk mengganti genteng yang sudah ada karena mudah retak dan bocor. “Gentengnya bagus, enteng tapi kuat,” ujar Bapak Kardi.
          Akhirnya Lia, Asep dan Bapak Kardi pun ke belakang untuk mengecek genteng tersebut. Setelah di-check akhirnya Asep dan Lia percaya bahwa genteng yang hendak dikasih bapaknya itu memiliki kualitas yang jauh lebih mumpuni dibandingkan dengan genteng rumah miliknya. Akhirnya, mereka pun menerima tawaran dari Bapak Kardi.
          Saat tulisan ini dibuat, genteng tersebut sedang dicat lagi oleh Bapak Kardi agar lebih terlihat baru dan bagus. Dan genteng rumah milik Lia sendiri rencananya akan diganti kalau sang bapak sudah selesai mengecat sekitar 1500 genteng yang dibutuhkannya.
          Demikian kisah haru menimpa Lia dan suaminya. Berbekal sedekah bolu dan sedekah jiwa dengan mau menyadari kesalahannya serta mau memaafkan segala kesalahan bapaknya, Lia akhirnya mendapatkan genteng baru yang berkualitas yang memang selama ini dibutuhkannya. Yang jauh lebih penting lagi, anak dan bapak akhirnya akur lagi. 

BISNIS LANCAR BERKAH SEDEKAH


Apakah dagangan atau jualan Anda ingin lancar dan sukses? Kuncinya sederhana, yaitu rajin sedekah. Setidaknya inilah teori yang dipakai oleh ibu muda yang satu ini.

By Mantra

Menjadi pedagang merupakan kebiasaan Ibu Mardiana atau lebih sering dipanggil Mama Putra sejak muda. Hingga ia menikah, kebiasaan ini terus dilakoninya. Namun, usaha dagang sepatu bersama sang suami ini tidak mengalami kemajuan, hingga mereka berdua kemudian berpisah karena sesuatu hal.
Setahun kemudian (2008), di tengah modal dagangnya yang semakin menipis dan stok barang yang habis, dia mendapatkan uang pinjaman dari orang tuanya sebesar 2 juta (dua juta rupiah). Berbekal uang inilah ia kemudian merintis usahanya kembali yang sempat terpuruk.
Ketika memulai usahanya secara sendiri inilah, ia mendapatkan pesan berharga dari saudaranya bahwa jika usahanya ingin sukses, maka harus rajin bersedekah. Rupanya, pesan saudaranya yang sebenarnya adik kandungnya sendiri ini, langsung ia praktekkan. Dulu, jika ada pengemis datang ke tokonya minta bantuan selalu ditolak, kini ia mulai merubahnya. Ia selalu mengasih atau memberinya, tanpa harus kroschek dulu untuk apa uang itu sebenarnya. “Meski saya sering dengar tidak semua pengemis itu benar, artinya di kampung sebenarnya ia kaya dari hasil mengemis ini, tapi saya lillahi ta’ala saja. Urusan dia kaya atau gak di kampungnya, kita serahkan saja kepada Allah. Kita sih niatnya bersedekah aja,” ujarnya memberikan tips.
Tidak itu saja, setiap bulan pun ia berusaha menyisihkan setiap uangnya buat pesantren. “Jumlahnya sih tidak besar, hanya 500 ribu rupiah, tapi saya berusaha untuk selalu memenuhinya setiap bulan,” ujarnya. Pernah suatu kali, ia lupa memberikannya, tiba-tiba ia kehilangan 500 ribu. Besok harinya, ia pun langsung ke pesantren lagi untuk bersedekah 500 ribu. Setelah itu, usahanya pun semakin lancar.
Tidak hanya itu, kepada pemulung pun, Mama Putra kerapkali memberikan uang, jika kebetulan berpapasan dengannya. Bahkan, jika menjelang puasa, ia kerapkali membagikan sembako 50 bungkus buat mereka dan orang-orang yang senasib dengannya. Dan menjelang lebaran, setiap kali ketemu pemulung atau pengemis, ia selalu memberikan mereka 50 ribu per orang. Lalu, sedekah itu digenapkan dengan berkorban kambing yang ia alokasikan sebesar 2 juta rupiah.
Berbagai keajaiban pun kerapkali ia rasakan berkah sedekah ini. Kini, bisnisnya tidak saja satu kios, tapi sudah tiga kios di tempat yang berbeda: Cibinong (Bogor), Cimanggis (Depok) dan Gunung Putri (Bogor). Dari tiga usahanya ini, ia bisa mendapatkan omset sebesar 100 juta per bulan. Sebuah angka yang mungkin tidak pernah ia prediksi sebelumnya, terutama ketika berdagang bersama sang suami yang kini telah meninggalkannya. Usahanya pun tidak saja dalam bidang sepatu sport, baju sport, tapi juga mulai merambah ke jaket sport dan sebagainya.
Dengan usia yang masih 35 tahun dengan satu putra, hidupnya terbilang cukup sukses. Rumah yang cukup asri di salah satu perumahan di Bogor ini, menjadi salah bukti bagaimana ia mereguk kesuksesan dari usaha dagangnya ini.
Berkah sedekah ini tidak saja ia rasakan dalam usaha dagangnya yang lancar dan sukses, tapi juga dalam bidang yang lain. “Alhamdulillah, selama ini saya juga jarang sakit meski capek karena pergi ke sana kemari. Bahkan, terasa aman-aman saja kalau pergi ke mana saja,” kisah perempuan yang takut dianggap riya karena menceritakan kisahnya ini. Semua ini, ujarnya, disebabkan karena sedekah yang sering ia praktekkan.
Sedekah juga kerapkali menjadi “pelancar” dari segala keinginan kita. Misalnya, saat rumahnya direnovasi. Di kantong Mama Putra sendiri, sebenarnya sedang tidak ada uang cukup untuk merenovasi rumahnya. Namun, ia nekad memanggil tukang untuk membuat dapur, garasi, taman, dan ruangan sebaik dan seindah mungkin. “Alhamdulillah, ketika tukang itu butuh ini dan itu, tiba-tiba saja dagangan saya lancar hari itu,” ujar perempuan asli Pelembang ini. Sampai renovasi itu selesai, ia pun tak memiliki hutang di luar karena semuanya berasal dari usaha dagangnya yang lancar-lancar saja.
Terakhir adalah ketika butuh uang 40 juta untuk belanja sepatu karena banyaknya pesanan. Sementara di kantongnya hanya ada uang satu juta rupiah. Di tengah kondisi seperti ini, ia tidak berpikir untuk tidak belanja. Bahkan, sedikit pun ia tidak berpikir untuk menunda sedekahnya. Malah, ia mendatangi pesantren seperti kebiasaannya setiap bulan dan memberikan pesantren anak-anak yatim di Cileungsi itu sebesar 500 ribu. Spontan, uang tersisa di kantongnya pun tinggal 500 ribu, sementara ia harus belanja sepatu sebanyak 40 juta rupiah agar pesanan orang bisa terpenuhi. “Alhamdulillah, dalam waktu cepat modal itu bisa terkumpul dari dagangan. Tiba-tiba saja dagangan saya lancar sehingga uang sebesar itu bisa terkumpul,” kisahnya. Dan ia pun bisa belanja.
Tips lagi dari Mama Putra yang mungkin bagi kita agak ribet diwujudkan adalah saat berada di Tanah Abang untuk belanja. Di Tanah Abang banyak sekali pengemis. Setiap kali melangkah beberapa meter, pengemis ini selalu saja berkeliaran dan minta santunan dari para pedagang atau pembeli di sana. Bagi kita kebanyakan, hal ini dianggap risih. Namun, keadaan seperti ini justru berbeda bagi Mama Putra. Dia malah kasih uang (baik 1000, 2000 atau 5000) setiap kali bertemu mereka, di mana saja dan kapan saja. Karena itu, setiap kali mau ke Tanah Abang, ia selalu mempersiapkan banyak receh atau lembaran uang ribuan.  
Di mata Mama Putra, bersedekah itu tidak akan mengurangi hartanya. Justru, ia sebenarnya sedang menabung di bank Allah. Karena bank Allah, maka bunganya pun tentu berlipat ganda. Dan bunga yang berlipat ganda ini bisa saja langsung Allah berikan dalam bentuk usaha yang lancar, kesehatan badan, keselamatan dan sebagainya. Karena itu, ia tak pernah memikirkan apa-apa ketika berdekah: apakah uangnya berkurang? Apakah uangnya itu disalahgunakan oleh pengemis/pemulung? Ia tak pernah mau memikirkannya. Bersedekah, ya bersedekah aja.
Mama Putra hanya yakin pada satu hal bahwa sedekah itu memang sangat bermanfaat dan manfaatnya pasti akan menimpa kepada yang bersedekah itu sendiri. Dan satu hal lagi, hendaknya ketika bersedekah kita meminta kepada orang yang disedekahkan itu untuk mendoakan kita. Dalam kasus dirinya, ia selalu minta kepada orang yang disedekahkan itu agar usahanya dilancarkan. Dan Allah pun mendengarkan doa dari orang-orang yang lemah.
Selain konsep sedekah, satu lagi kunci sukses dagangnya adalah “untung kecil tapi lancar”. “Dagangan itu tidak perlu untung besar, kalau lakunya lama. Yang penting, untungnya kecil tapi lancar,” ceritanya. Ia pun membeberkan harga barang jualannya satu-persatu yang kebetulan banyak di rumahnya karena baru saja belanja. “Sepatu ini saya beli seharga 60 ribu, tapi saya jual 85 ribu. Lalu jaket ini, saya beli seharga 135 ribu, tapi saya jual 150 ribu,” lanjutnya. Dengan harga miring ditambah konsep sedekah yang dipraktekkannya, usahanya pun semakin lancar dan terus berkembang. Semoga kita, khususnya para pedagang, bisa meniru gaya dagangnya ini. 
Demikian kisah sedekah yang dialami oleh Mama Putra. Banyak sisi positif yang bisa kita ambil dari kisah ini. Semuanya berpangkal pada satu hal: janganlah kita takut untuk bersedekah!

SUAMI DAPAT PROYEK DARI SEDEKAH ISTRI


Tiba-tiba suaminya ditelpon sahabat dan dikasih proyek, setelah siang harinya sang istri bersedekah. Mungkinkah seorang istri yang bersedekah, tapi suami yang mendapatkannya? Atas izin Allah, segalanya menjadi mungkin dan kisah ini menjadi salah satu buktinya.

By Mantra

Sebut saja namanya Wati. Usianya sekitar 25 tahun. Wajahnya cantik, kulit kuning langsat dan bertubuh tinggi. Perempuan yang sehari-hari menjadi guru ngaji anak-anak di lingkungan perumahan ini, memiliki kisah unik seputar keajaiban sedekah.
Kejadian ini berlangsung tahun 2011 saat merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw. Sebagai pemimpin pengajian ibu-ibu di lingkungannya, Wati hendak menyelenggarakan tradisi Maulid Nabi dengan mengundang penceramah dari luar. Acara yang sempat mendapatkan kontra dari pihak yang kurang setuju dengan tradisi yang telah mengakar di kalangan Muslim Indonesia dan dunia ini akhirnya berhasil mendatangkan seorang penceramah muda dari daerah Bogor.
Dia adalah Ustadz Sa’i. Penceramah muda berusia 30-an tahun ini dinilai cukup berhasil menghipnotis para penonton atau pendengar. Sebab, gaya ceramah sang ustadz menggabungkan tiga skill (kelebihan) sekaligus: entertaint, orator, dan qiraah.
Dari sisi entertaint, pak ustadz mampu membuat pendengar selalu tertawa sepanjang ceramah, sehingga keadaan tidak lekas boring (membosankan). Bahkan, ceramah satu jam lebih terasa kurang bagi pendengar dan memintanya untuk memperpanjang ceramahnya.
Dari sisi orator, gaya ceramahnya terasa sangat luwes, tidak kaku dan mengalir begitu saja. Suara rendah dan tinggi saling bergantian ia keluarkan. Dalil dari al-Qur’an dan hadits pun tak pernah luput ia kutip. Bahkan, pendapat para ulama turut disertakan. Namun, tema ceramah tetap disampaikan dengan gaya yang sederhana dan mudah dicerna.
Sedang dari sisi qiraah, kebetulan pak ustadz adalah seorang qari, sehingga saat ia mengutip ayat al-Qur’an tak segan-segan ia lantunkan dengan suara yang sangat indah (qira’ah). Hal ini membuat para pendengar pun dibuat terpana dengan segala kelebihan pak ustadz.
Namun, tulisan ini tentu saja tidak sedang membicarakan pak ustadz. Tulisan ini tetap membicarakan sosok wanita cantik di balik kedatangan Ustadz Sa’i di acara Maulid Nabi tersebut, yaitu Wati. Ya, acara yang diselenggarakan pada pagi hari ini akhirnya berakhir menjelang Dzuhur. Di sinilah Wati justru dibuat bingung. Sebab, dana untuk acara tersebut membengkak sehingga menguras habis kas pengajiannya dan tidak ada uang lagi untuk membayar penceramah.
Di tengah rasa galau yang menghantui dirinya sementara Pak Ustadz harus pulang dan uang itu tetap harus dibayarkan, akhirnya tanpa bilang kepada siapa-siapa ia pun merogoh kantongnya sendiri. Sisa uang tabungan yang hanya Rp. 500 ribu di laci lemarinya pun diambilnya dan diberikannya kepada pak ustadz. Wati ikhlas menyedekahkan uang itu, tanpa harus memungut bayaran dari ibu-ibu pengajian yang lain.
Acara pun usai dan jamaah meninggalkan acara. Dengan mobilnya, ustadz muda itu pun perlahan-lahan hilang dari pandangan. Dia kembali ke rumahnya bersama sahabat yang menemaninya.

Langsung Dibalas
          Sore harinya, suami Wati tiba-tiba mendapatkan telpon dari sahabatnya. Laki-laki itu menawarkan proyek kepadanya senilai 12.500.000,-. Sebagai tanda jadi, besok harinya dia akan mentransfer setengahnya. Suami Wati terkejut mendengar berita ini. Kok tiba-tiba dia ditelpon sahabat dan dikasih proyek lagi. Nilainya tidak besar, tapi lumayan bagi dia yang sedang membutuhkan uang saat itu. Saat itu dia belum sadar, sesungguhnya apa yang dialaminya itu sangat terkait dengan sedekah yang dilakukan oleh sang istri pada siang harinya.
          Apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu akhirnya benar-benar terwujud. Besok harinya, rekening suami Wati ada tambahan uang sebesar Rp. 5.000.000,. Hal itu diketahuinya dari bunyi sms yang diterimanya dari sang sahabat. “Sobat, maaf saya baru bisa transfer 5 juta dulu! Sisanya nanti kalau kerjaan selesai,” tulis sahabat lewat sms.
          Betapa girangnya suami Wati saat itu. Tuhan kok begitu sayangnya kepada dia. Kemarin dia tak memiliki uang, lalu sahabatnya tiba-tiba menelpon dan menawarkan proyek. Besok harinya langsung dapat uang. Begitu cepat sekali waktu itu berputar. Dari rasa sedih ke bahagia. Perbedaannya sangat tipis sekali.
          Setelah mendengar dari pengakuan sang suami bahwa ia mendapatkan uang dari sahabatnya, pada malam harinya Wati pun tiba-tiba berani berterus terang perihal uang 500 ribu yang disedekahkannya. “Yah, saya mau cerita, tapi mohon jangan marah ya?” pinta Wati pada suaminya yang duduk di sebelah.
          “Emangnya ada apa?” jawab sang suami.
          Wati pun berkisah pada suaminya bahwa kemarin ia telah menyedekahkan uang 500 ribu kepada penceramah tanpa seizin dulu darinya. Ia harus melakukannya karena hanya jalan itu yang bisa diambil. Dugaan Wati kalau suaminya akan marah ternyata meleset. Laki-laki itu malah senang karena Wati memiliki jiwa sedekah yang luar biasa. Ia mau mengorbankan tabungannya untuk orang lain. Padahal, saat itu juga Wati sedang tidak memiliki uang. Uang yang disedekahkan itu, itulah yang tersisa dari tabungannya.
          Namun, berbekal keikhlasan Wati dalam bersedekah itulah akhirnya Allah dengan cepat menggantinya lewat tangan suaminya. Sebab, sedekah juga harus pakai logika. Dalam kasus Wati dan suaminya logikanya adalah bahwa Wati tidak mungkin mendapatkan rejeki besar dari tangannya karena dia hanyalah seorang pemimpin pengajian biasa. Karena itu, jalan yang paling masuk akal (logis) adalah lewat jalur suaminya. Wati yang bersedekah dan suami yang mendapatkannya. Hubungan yang saling menguntungkan ini (simbiosis mutualisme) bisa saja terjadi atas izin Allah.
          Yang lebih logis lagi adalah bahwa sang suami mendapatkan transfer uang sebesar 5 juta, jumlah yang berlipat-lipat dari 5 ratus ribu yang disedekahkan Wati. Kelihatannya dua nilai itu memiliki angka yang sama, yaitu 5. Bedanya, yang satu lima juta dan satunya lagi 5 ratus.
          Dari kisah Wati di atas nampak bahwa Allah akan membalas segala kebaikan hamba-Nya berlipat-lipat hingga ratusan kali. Apakah Anda masih tidak percaya dengan hal ini? Lalu, kenapa Anda masih diam dan ragu untuk tidak berbuat. Ya, segeralah bertindak dan lakukan kebaikan, insya Allah Dia akan membalasnya dalam tempo cepat atau lambat. “Saya sendiri saat itu tidak memikirkan apa-apa. Hanya sedekah saja. Persoalan kemudian suami saya dapat rejeki yang besar karena kebaikan saya, wallahu a’lam bil shawab,” ujar Wati.
          Ya, Wati yang memang senang bersedekah ini kerapkali menemukan banyak keajaiban karena kebaikannya itu. Menurut perempuan yang pernah ngasih beberapa pakaian kepada pemulung ini, bahwa keajaiban sedekah itu sungguh tak terbatas. Ibarat sebuah pepatah, ia seperti kasih sayang seorang ibu yang tak pernah putus, tapi sangat logis. Artinya, hitung-hitungan sedekah itu sangat jelas. Allah pasti akan menggantinya dalam waktu lambat atau cepat. Dalam kasus yang dialami suaminya, balasan Allah itu termasuk sangat cepat.
          Satu hal yang disarankan oleh Wati adalah bahwa sedekah itu boleh yakin, tapi jangan memikirkan hasilnya. Artinya, kita boleh yakin bahwa Allah akan membalas sedekah kita, tapi kita tidak boleh memikirkannya terus-menerus kapan Allah akan membalasnya karena jatuhnya akan kurang baik. Nilai ibadah kita bisa menjadi kurang. Karena itu, usai sedekah ya kita melupakannya. “Anggap saja kita sedang menabung di bank Allah,” ujarnya. Dan bank Allah, labanya pasti akan jauh lebih besar dibandingkan bank-bank lain di dunia ini.
          Semoga kita banyak belajar dari kisah ini! Amien.

BERKAH SEDEKAH, JABATAN NAIK


“Sedekah terbaik adalah ketika kondisi kita sedang tak berpunya. Sebab, pada saat itulah keikhlasan hati kita dalam beramal saleh benar-benar diuji Allah.”

By Mantra

Tiga belas tahun telah berlalu. Pak Warjo Prakoso (WJ) merasa bahwa sudah saatnya ia harus resign (mengundurkan diri) dari pekerjaannya sebagai seorang leader (pemimpin) di sebuah perusahaan air minum di Pasuruan, Jatim. Ia ingin fokus pada usaha yang baru dirintisnya yaitu dagang peralatan listrik.
Niat ini pun disampaikan Pak WJ pada pimpinannya. Sang pimpinan tentu saja terkejut dengan keputusan lelaki berdarah Jawa tersebut. Apalagi, dia telah bekerja selama 13 tahun di perusahaannya dan selama ini sangat bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Namun, niat tulusnya akhirnya tak bisa dihadang. Maka sang pimpinan pun merelakan resign Pak WJ.
Sebuah keberuntungan karena Pak WJ juga mendapatkan uang pesangon, yang selama ini sebenarnya sulit didapatkan bagi karyawan yang resign. Jumlahnya tak banyak, tapi cukup baginya untuk makan beberapa bulan dan menambah modal usaha yang baru dirintisnya.
Uang pesangon pun telah sampai di tangan Pak WJ. Oleh guru ngajinya, Pak WJ disarankan untuk menyedekahkan sebagian uang pesangon tersebut dengan tujuan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. Tanpa pikir panjang lagi, Pak WJ menyedekahkan 2,5% dari uang itu ke masjid, sebuah tempat yang selama ini sering dipakai guru ngajinya untuk berdakwah.
Setelah itu, Pak WJ mulai fokus pada usaha barunya. Namun, di tengah dia bergelut pada usaha barunya tersebut, tiba-tiba dia mendapatkan tawaran menggiurkan dari sebuah perusahaan air minum di Bandung sebagai supervisor. Hal ini benar-benar mengejutkannya, apalagi gajinya tiga kali lipat dari pekerjaan sebelumnya. Spontanitas ia pun menerimanya. Dari Pasuruan ia memboyong keluarganya ke Bandung.
Pak WJ merasa bahwa inilah keajaiban pertama dari sedekah yang ia lakukan beberapa hari sebelumnya. Di tempat barunya itu, Pak WJ mendapatkan fasilitas gaji dan tempat tinggal. Sebuah anugrah yang tidak pernah ia dapatkan dari pekerjaan sebelumnya.
Namun, Pak WJ tidak bertahan lama bekerja di situ (2,5 tahun) karena hatinya tidak cocok dengan management perusahaan. Akhirnya, ia pun resign kembali. Padahal, ia sedang meraih keberkahaan: gaji dan tempat tinggal gratis. Tapi, ia meninggalkannya karena hatinya merasa sudah tidak sreg lagi.
Di tengah kosong kerjaan, karena usaha dagang listrik di Pasuruan pun ditinggalkan, tiba-tiba ia mendapatkan informasi tentang sebuah lowongan pekerjaan di Bogor, tepatnya di Citeureup. Maka dari Bandung ia pun melamar ke sebuah perusahaan air minum juga sebagai seorang staf teknisi, yang selama ini memang menjadi keahliannya. Sebuah posisi yang sebenarnya tidak pas untuk dirinya, karena selama ini dua kali menempati posisi bagus di dua perusahaan berbeda: leader dan supervisor. Namun, ia mengabaikannya karena niatnya tulus ingin bekerja kembali.
Setengah bulan kemudian. Pimpinan Pak WJ minta resign karena ingin pulang kampung. Maka, otomatis, jabatan leader pun kosong. Banyak orang melamar untuk posisi ini, mulai dari lulusan biasa hingga ternama sebuah universitas di Indonesia. Tapi, semuanya tak ada yang diterima. Di sinilah sebuah keajaiban datang. Pak WJ yang sedari awal tidak pernah berminat untuk mengisi posisi tersebut, tiba-tiba mendapatkan tawaran dari sang pimpinan untuk menempatinya.
Apakah hal ini tidak salah? Sebuah pertanyaan sempat mampir di benak Pak WJ. Tapi, setelah pimpinan meyakinkannya bahwa dia pantas menempati posisi itu karena berdasarkan pengalaman yang dimilikinya akhirnya ia pun menerimanya dengan senang hati. Sejak itu, resmilah Pak WJ sebagai seorang leader dari para teknisi, padahal usia kerjanya baru setengah bulan dan masih banyak orang yang lebih lama bekerja di perusahaan itu, yang mungkin sebenarnya lebih berpeluang untuk mendapatkan posisi tersebut.
Tapi, kalau kita bicara masalah keputusan Tuhan, inilah sebuah keajaiban yang kadang kita sulit menerkanya, tapi sebenarnya sangat logis. Sebuah matematika Tuhan atas kebaikan yang pernah dilakukan seseorang sebelumnya. Bagi Pak WJ, mungkin ia merasa bahwa kebaikan bersedekah beberapa tahun sebelumnya berkali-kali berbuah manis, mulai dari mendapatkan pekerjaan yang mudah di Bandung hingga posisi yang tidak terduga di Bogor.
Tidak lama setelah diangkat jadi leader, Pak WJ pun berhasil menciptakan sebuah alat pembersih galon dengan sistem berdiri, bukan tidur yang selama ini sering dipakai oleh usaha-usaha isi ulang galon. Alat itu masih dipakai oleh perusahaannya hingga sekarang dan ada perusahaan lain yang sudah meniru modelnya. Kelebihan alat tersebut, di tengah pipanya ada selang untuk mengeluarkan air yang berfungsi sebagai pembersih galon. Jadi, air tersebut tidak ditaruh di galon seperti yang ada selama ini, tapi disemprotkan melalui selang tersebut dan higienitasnya lebih terjamin.
Padahal, kita mungkin tidak percaya, bahwa Pak WJ hanyalah seorang lulusan SMA. Semua keterampilannya dalam bidang mesin didapatkannya secara alamiah, belajar di lapangan. Tidak sedikit anak buahnya yang justru lulusan dari perguruan tinggi yang ternama. Bahkan, saking mahirnya dalam bidang teknisi, tidak sedikit orang yang memanggilnya insinyur. Ketika mendengar panggilan ini, Pak WJ hanya bisa tersenyum. Ia tidak sempat melanjutkan ke perguruan tinggi karena keterbatasan biaya, padahal dirinya termasuk pribadi yang cukup cemerlang. Saat SD, ia pernah juara lomba cerdas cermat tingkat kecamatan. 
Jiwa sedekah Pak WJ memang telah tertanam sejak lama. Hal itu terjadi sejak ia senang pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Kebiasaan ini ternyata melatih jiwa spiritualnya untuk selalu berbagi pada sesama. Padahal, terkadang ia pun merasakan kekurangan, namun tak sungkan-sungkan ia bersedekah ketika ada orang yang membutuhkannya. “Sedekah terbaik adalah ketika kita sedang tidak punya,” pesannya kepada Hidayah.
Menurutnya, pengeluaran yang kadang lebih besar dari pemasukan atau besar pasak daripada tiang, memang terkadang menghalangi kita untuk berbuat baik atau bersedekah. Namun, sejatinya, apa yang kita sedekahkan itu sebenarnya tidak mengurangi tabungan kita sama sekali. Justru kita sedang menabung di bank lain, yaitu tabungan Allah. Dan tabungan Allah itu bunganya pasti jauh lebih tinggi, bisa mencapai 700%.
Keikhlasan Pak WJ dalam bersedekah, saya sendiri berkali-kali menyaksikannya. Saat itu, ia sebenarnya baru keluar dari rumah sakit karena penyakit lama yaitu tekanan darah tinggi. Di rumah sakit seminggu dan tentunya membutuhkan biaya besar. Tapi, pada saat bersamaan, ada pembangunan mushola di tempat yang tidak jauh dari rumahnya. Tidak ragu-ragu ia pun merogoh koceknya sebesar 500 ribu untuk disumbangkan pada pembangunan mushola tersebut. Disadarinya, ia pun sebenarnya sedang membutuhkan banyak dana. Tapi, ia selalu yakin akan keajaiban sedekah. Meski begitu, satu hal yang selalu ditanamkannya bahwa hendaklah dalam sedekah itu diniatkan karena Allah SWT, bukan karena niat yang lain.

Minggu, 06 Mei 2012

SEDEKAH HARGA DIRI SEORANG ANAK HILANG


Mudah mengulurkan tangannya ke teman-teman dan menikahi wanita hamil korban kebiadaan lelaki hidung belang, hidupnya pun dipenuhi kesuksesan.
(Artikel ini pernah dimuat Majalah Hidayah edisi 128, April 2012)
By Mantra

Foto: insani.undip.ac.id
Sebut saja namanya Bapak LD Mato. Sejak kecil ia telah terpisah dengan kedua orang tuanya karena sebuah ketidakberuntungan. Yaitu, saat kelas 5 SD pulang sekolah ia bermain-main di sebuah kapal pesiar. Tiba-tiba saja kapal itu berlayar dan membawanya pergi mengarungi lautan jauh dan meninggalkan kampung halamannya, Timor Timur. Ia pun terkena hukuman dari sang kapten kapal. Di dalam kapal ia dipekerjakan sebagai seorang juru bersih, yang harus membersihkan toilet dan tempat-tempat kotor.
Akhirnya ia berlabuh di Pelabuhan Merak, Banten. Dari sinilah kehidupan baru seorang anak kecil dimulai. Merasa hidup sendiri di kota baru dan asing baginya, apapun ia lakukan. Ia mencari uang sendiri dan harus melanjutkan sekolahnya. Singkat kata, ia pun bisa menyelesaikan SD-nya, SMP-nya, bahkan kuliah-nya di salah satu universitas swasta cukup terkenal di Jakarta Selatan.
Ia pun kemudian menikah dengan salah seorang gadis lulusan SMA di Ciputat. Pernikahan mereka dikaruniai anak bernama Divara yang sebenarnya anak keduanya, karena anak pertamanya keguguran.
Meski begitu, kehidupan LD Mato belum menjanjikan. Ia memang telah berkeluarga dan punya anak, tetapi hidupnya masih menganggur. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, kadang ia silaturrahmi ke sana-kemari agar bisa mendapatkan bantuan dari teman-temannya. Begitulah bertahun-tahun ia lakukan, sehingga ia merasa bahwa teman-temannya merupakan sebuah “jantung” kehidupannya.
Akhirnya ia kembali ke kampung halamannya karena ia merasa tidak kuat bersaing dengan orang-orang perkotaan yang pintar dan penuh tantangan. Di sinilah ia bertemu kembali dengan kedua orang tuanya yang telah puluhan tahun ditinggalkannya. Bagi kedua orang tuanya, LD Mato seperti sudah dianggap meninggal saja. Maka pertemuan mereka pun dipenuhi banyak keharuan.
Namun, kisah ini tentu saja tidak sedang membicarakan bagaimana kisah haru itu terjadi. Kisah ini lebih menyoroti sifat LD Mato yang mudah mengulurkan tangannya ke orang-orang dan teman-temannya karena persoalan senasib yang pernah dialaminya dulu.
Singkat kata, setelah berada di Timor Timur ia pun mulai menapaki karinya sebagai seorang penulis di berbagai media massa. Tulisannya mulai diterima, sebuah hal yang sulit ia lakukan saat berada di kota Jakarta. Maka, ketika rejeki sudah mulai ia reguk dengan hasil goretan tangannya, ia pun tidak sulit untuk berbagi kepada teman-temannya. Oleh teman-temannya ia telah dianggap sukses. Sehingga ketika teman-temannya meminta bantuan kepadanya, ia tak pernah sulit untuk tidak menolongnya. “Saya tahu apa yang mereka rasakan karena saya pernah seperti mereka dulu,” ujarnya kepada Hidayah suatu kali. 
Bahkan, ia pernah berkisah bahwa suatu kali ada seorang wanita datang ke rumahnya dan ia mengeluh tak punya televisi. Maka, televisi satu-satunya di rumah pun ia sumbangkan kepada wanita itu. Wanita itu pun begitu senangnya. Begitulah jiwa sedekah begitu kuat tertanam dalam sosok LD Mato ini. Menurut pengakuan sang istri, “suaminya memang gemar sekali bersedekah. Ia paling tidak bisa kalau melihat tetangga atau teman-temannya mengalami kekurangan, meski ia sendiri kadang tidak punya uang.”
Ketika melihat pengangguran, LD Mato selalu melihat dirinya saat masih mahasiswa dan awal-awal di pernikahannya. Saat itu untuk bisa bertahan hidup, ia harus anjang sana dan anjang sini agar mendapatkan belas kasihan orang. Maka, saat hidupnya mulai sukses ia tidak seperti kacang yang lupa akan kulitnya. Ia begitu mudah mengulurkan tangannya ke orang lain.
Kini, 5 buah karya tulis (buku) telah ia telorkan. Ia diundang ke sana kemari sebagai seorang analis politik yang sukses di negeri yang kini telah memerdekakan diri dari Indonesia itu. Bahkan, wajahnya beberapa kali tampil di televisi lokal sebagai seorang ahli politik. Sambil menyelam minum air, ia pun mulai merambah ke dunia bisnis sebagai seorang suppliyer alat-alat kesehatan di sebuah rumah sakit di sana. Hidupnya pun semakin sukses. Kini, ia telah mampu membeli kendaraan roda empat. Sebuah hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sekali lagi, rahasianya adalah mudah berbagi. Ia tidak pernah hitung-hitungan uang kepada orang lain. “Pernah suatu kali saya kembali ke Jakarta karena istri saya ‘kan masih di sana. Kepulangan saya pasti saja diketahui oleh teman-teman Jakarta saya. Mereka pun tak segan-segan minta bantuan kepada saya; dan saya pun kadang memberinya sebisa mungkin,” ceritanya.
Ia pun kemudian berkisah bahwa apa yang diraihnya sekarang ini bukan saja karena kemudahannya berbagi itu, tetapi juga karena ia telah melakukan apa yang kemudian disebut dengan “sedekah harga diri”. Apa itu dan bagaimana bisa?
Dulu, saat pertama kali baru menginjakkan kakinya kembali di kampung halaman, tidak lama setelah itu ia sudah dihadapkan dengan sebuah “tantangan” yang tidak mudah semua orang lakukan. Yaitu, ada seorang lelaki datang kepadanya dan minta ia mau menikahi seorang perempuan hamil korban pemerkosaan. Entahlah, hal apa yang merasuki pikirannya saat itu, tiba-tiba saja ia berkenan menikahinya meski telah memiliki seorang istri di Jakarta. “Bagi saya, ini adalah sebuah pengorbanan terbesar dalam hidup saya. Coba kamu bayangkan, saya harus menikahi seseorang yang menjadi korban kebiadaban seorang lelaki,” ujarnya kepada Hidayah.
Ya, LD Mato harus mengorbankan harga dirinya. Ia harus menyedekahkan harga dirinya kepada orang lain, yaitu seorang wanita hamil yang sedang dalam nestapa berkepanjangan. Belum lagi, ia harus berhadapan dengan kedua orang tua perempuan yang tidak mau menerimanya karena ia adalah lelaki beristri. Bahkan, katanya, wanita itu tidak sekali itu hamil. Ia pernah hamil sebelumnya dan kemudian digugurkan. Artinya, LD Mato betul-betul telah menyedekahkan harga dirinya untuk seorang wanita yang benar-benar telah hancur secara psikologis. “Saya berusaha membantu psikologisnya yang telah hancur berkeping-keping,” kisahnya kembali.
Bagi LD Mato,mungkin inilah “sedekah terbesar” yang pernah ia lakukan di jalan Allah. Bagi dia, dengan menikahi wanita itu berarti ia telah menolongnya dari jalan yang sesat dan berarti pula ia telah beribadah di jalan Allah. Ia berharap mudah-mudahan Allah meridhai langkahnya.
Kini, istri keduanya itu masih hidup bersama LD Mato, bahkan mereka berdua tampak begitu bahagia. Istrinya yang pertama akhirnya ia beritahu saat pulang ke Jakarta. Meski awalnya sulit menerimanya, akhirnya lambat laut wanita itu pun mulai mengikhlaskan pola suaminya yang telah beristri lagi. Meski LD Mato telah berjasa, tetapi ia merasa bersalah kepada istri pertamanya. Maka, sebagai bentuk sedekah lainnya: ia pun menguliahkan istri pertamanya di Universitas Pamulang. Jadi, lengkap sudah kebahagiaan Lamadi. Kini, ia masih bolak-balik Jakarta-Timor Timur. “Suatu saat saya akan terpikir untuk membawa istri pertama saya ke Timor Timur. Tapi, biarkan ia selesaikan dulu kuliahnya,” ujarnya suatu kali.
Demikiah sebuah kisah penuh inspiratif yang dialami oleh LD Mato. Ia tidak saja mudah berbagi harta kepada orang lain, tetapi juga ia telah melakukan suatu perbuatan terpuji yang sulit dilakukan oleh orang lain, yaitu “sedekah harga diri” dengan menikahi wanita hamil korban kebiadaan lelaki hidung belang. Hidupnya pun dipenuhi kesuksesan. Dari seorang gelandangan di jalanan berubah menjadi seorang penulis handal dan analis politik yang mumpuni, bahkan seorang pengusaha yang mulai diperhitungkan. Semoga kisah ini bisa menjadi bermanfaat buat kita semua! Amien.

BISA BERKARYA KARENA SEDEKAH 5%

“Sedekah itu telah memudahkannya untuk terus berkarya.”
(Artikel ini pernah dimuat Majalah Hidayah edisi 129,Jumadil Akhir/Rajab 1433 H/Mei 2012)
By Mantra

B
anyak peristiwa yang membuat seseorang itu mendapatkan titik kesadarannya. Dari titik inilah ia kemudian bertekad untuk menjadi manusia baru. Mungkin inilah yang dirasakan oleh Saudara Rudiyanto SW. Ia bisa menghasilan lima buah karya (buku) karena konsep sedekah yang dilakukannya beberapa tahun yang lalu.
Rudiyanto dgn senyumnya yg khas
Saat itu, bulan Ramadhan 2005. Menjelang Maghrib ia diajak oleh Ustadz Wahfiyuddin, dai yang kerap tampil di televisi, untuk acara buka puasa bersama para direktur asuransi Jasa Raharja di Kuningan, Jakarta Selatan. Selain itu, sang ustadz juga didaulat untuk menjadi penceramah kuliah tujuh menit (kultum) di situ. Maka meluncurlah ia dan sang ustadz ke tempat acara. Tidak lama kemudian mereka pun sampai.
Benar saja, Maghrib kemudian bergema dan mereka pun buka puasa bersama. Usai shalat Maghrib yang dilanjutkan shalat Isya dan tarawih berjamaah, sang ustadz pun tampil untuk berceramah. Dalam ceramahnya, tidak disangka ia menyinggung soal keutamaan sedekah. Ia mengisahkan bahwa ada seseorang yang kaya raya, tetapi hartanya tidak pernah ia sedekahkan. Maka, keluarganya menjadi berantakan. Anaknya terlibat narkoba dan sebagainya. Dengan kata lain, harta banyak yang dimilikinya tidak bisa menyelamatkan kebahagiaan keluarganya.
Lalu, ustadz itu menyontohkan dirinya sendiri. Ia tidak memiliki uang pasti. Profesinya sebagai juru dakwah hanya mengandalkan hidupnya pada panggilan orang saja. Meski begitu, hidupnya dipenuhi keberkahan. Anak-anaknya sukses semua dan meraih prestasi sebagai siswa yang terbaik di kelasnya masing-masing. Hidup keluarganya pun sakinah, mawaddah dan rahmah. Semua itu disebabkan karena sedekah yang ia jalankan, yaitu 10% dari setiap penghasilan yang didapatkannya. Ustadz itu juga mengajak para direktur yang hadir di sana yang gajinya rata-rata di atas ratusan juta itu untuk tidak melupakan sedekah.
Banyak yang tergugah atas kisah Pak Ustadz, salah satunya adalah Rudiyanto SW sendiri. Malam itu juga ia pun menekadkan diri, “Ya Allah, kalau malam ini juga saya dapat rejeki, maka akan saya sedekahkan 5%.”
Acara buka puasa, shalat tarawih bersama dan ceramah agama pun selesai. Mereka pun pulang. Tetapi, sampai di tengah jalan Rudiyanto pamit untuk turun karena punya tujuan yang lain. Sementara sang ustadz melanjutkan perjalanannya. Namun, sebelum berpisah, sang ustadz menyelipkan amplop kepada Rudiyanto. Dia tidak bisa mengelaknya karena itu merupakan pemberian. “Hitung-hitung untuk ongkos pulang,” ujarnya saat itu.
Setelah ustadz pergi dengan mobilnya, Rudiyanto pun membuka amplopnya. Ternyata, ada uang 150 ribu di dalamnya. “Saat itu, uang segitu cukup banyak,” katanya. Ia tidak menyangka jika sang ustadz akan memberikan uang sebanyak itu. Dalam pikirannya, mungkin itu adalah uang sedekah 10% dari penghasilan Pak Ustadz sebagai penceramah tadi. Meski begitu, sebelumnya ia tidak menduga sama sekali. Mungkin dalam benaknya, ia akan dikasih 20 ribu, atau paling maksimal 50 ribu.
Sesuai dengan tekadnya malam itu, maka ia pun berjanji akan menyisihkan 5% dari 150 ribu itu. Ia harus menghabiskannya malam itu juga. Berarti, sekitar 7.500 ribu, harus ia sedekahkan. Maka, setiap kali ada pengamen di bis yang ia tumpangi yaitu P-20 jurusan Pasar Senen-Lebak Bulus, ia pun merogoh koceknya seribu atau dua ribu rupiah. Begitu seterusnya, setiap kali ada pengamen ia pun selalu memberinya hingga uang sebesar 7.500 itu habis. “Tetapi, awalnya tetap saja agak berat hati saya. Mungkin inilah godaan!” ujarnya.
Sejak ia membiasakan untuk bersedekah 5% ini, kehidupannya tiba-tiba berubah. Seketika saja ia terbersit ingin berkarya atau menulis. Suatu ketika ia membeli sebuah buku karya Yudi Pramuko berjudul “Sukses Besar Tanpa Gelar” di Toko Buku Gramedia Depok. Ternyata, buku ini menginspirasinya untuk menemui sang penulis di Ciputat. Usai bertemu, ia pun mendapatkan wejangan dari sang penulis, “Tulis saja apa yang kamu tulis dan jalankanlah selagi kamu berada di jalan Allah. Maka Allah pasti akan menunjukkan jalan-Nya.”
Rudi pun pulang ke kontrakannya dan melanjutkan tekadnya untuk menulis. Akhirnya, dalam rentang yang tidak begitu lama, ia pun berhasil menulis sebuah karya yang siap dicetak. Kini, baginya tinggal mencari sponsor yang mau mencetak dan menerbitkan karyanya. “Alhamdulillah, tiba-tiba saja saya dipertemukan dengan sponsornya. Prosesnya begitu mudah sekali,” kisahnya.
Akhirnya, buku pertama berjudul “Uje; Rahasia Sukses Satria Muda” (2006) sukses ia telorkan dan edarkan di pasaran. Sebuah buku tentang bagaimana perjalanan dakwah seorang dai muda bernama Ustadz Jeffry al-Bukhari yang sedang terkenal kala itu dan hingga sekarang sekalipun. Bukunya lumayan mendapatkan respon yang cukup baik dari pembaca.
Hal itu terbukti saat Ahmad Bahar, penulis buku “Kristalisasi Keringat” mengadakan pelatihan menulis buku, menjadikan Rudiyanto sebagai salah seorang pengisi acaranya. Saat acara inilah ia bertemu dengan Nourmala Dewi, perempuan yang kemudian menjadi istrinya.
Namun, Rudi tidak langsung menikahi perempuan itu. Saat buku kedua berjudul “165 Nafas-Nafas Cinta” (2010) ia bedah dalam sebuah Bazar Buku di Jakarta Convention Centre (JCC), ia pun bertemu kembali dengan perempuan itu. Dan rupanya, Nourmala adalah penggemar karya-karya dari Rudi. Buktinya, saat Rudi mengisi acara lagi di sebuah radio yang ada di JCC secara live, perempuan itu ikut hadir juga meski harus bayar 70.000,-.
Sejak itulah, Rudi mulai melakukan komitmen dengan Nourmala pada hubungan yang serius. Maka, saat hendak menikahinya, Rudi pun menjadikan karyanya yang ketiga yang berjudul “Kupinang Engkau dengan Ar-Rahman” (2010) sebagai maharnya. Tidak saja memberikan buku itu, Rudi juga membaca surat Ar-Rahman sebagai mahar keduanya.
Gaya Rudiyanto yg berapi-api saat diwawancarai Mantra
Kini, mereka telah menjadi suami istri dan memiliki anak bernama R. Muhammad Ali ‘Abdul Warits Hamemahu Hayuning Bawono. Meski begitu, produktifitas Rudi untuk menulis buku tidak berhenti. Buku keempatnya yang berjudul  “Keajaiban Ibadah Malam” (2011) pun kemudian lahir. Buku ini ditulis bersama sang istri tercinta yang kebetulan juga gemar menulis. Pada tahun 2012 ini, Rudi baru saja menghasilkan buku kelimanya berjudul “Kultum; Mengubah Kehidupan dan Kebahagiaan” (2012).
Demikianlah sebuah kisah bagaimana seseorang yang telah menemukan inti kehidupannya berkah sedekah. Melalui sedekah 5% pula ia terus melahirkan karya-karyanya. Sebab, setiap royalti yang ia dapatkan dari buku-bukunya itu, ia pun langsung menyedekahkan 5% kepada orang yang berhak menerimanya. Begitu juga, setiap kali ia mendapatkan rejeki dalam bentuk apapun, ia selalu menyisihkan 5% untuk kepentingan fi sabilillah. Maka, Rudi pun selalu lancar dalam setiap rencana dan tujuannya, termasuk dalam hal berkarya.
Maka pesan Rudi kepada kita semua adalah bahwa janganlah takut untuk bersedekah. Sebab, sedekah itu tidak akan pernah merugikan kita sama sekali. Tampaknya sedekah itu telah mengurangi harta yang kita miliki. Tetapi, sejatinya, uang yang kita sedekahkan itu untuk ditabung di bank Allah. Karena bank Allah, tentu labanya jauh lebih besar; dan kita pasti akan menerimanya dalam bentuk yang berbeda-beda pula dan tidak terduga sama sekali. Maka bersedekahlah!
Semoga kita bisa belajar dari kisah ini! Amien.